Omnibus Law Dianggap Cederai Sejarah Paten

Pasal yang bakal dihapus adalah ruh dari UU Paten.

 

RUU Cipta Kerja bakal berimbas pada banyak aspek, bukan hanya perizinan dan ketenagakerjaan, tetapi juga regulasi kekayaan intelektual. Dampak terhadap kekayaan intelektual belum banyak dilihat, padahal jika draf yang ada sekarang diberlakukan, imbasnya sangat besar. Lihat misalnya penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Pasal 20 UU Paten menyebutkan Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Membuat produk atau menggunakan proses harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.

Pasal 110 RUU Cipta Kerja tegas-tegas menyebutkan Pasal 20 UU Paten dihapuskan. Alasannya karena kewajiban transfer teknologi kewajiban membuat produk di Indonesia menghambat investasi asing. Pemerintah menerima keluhan dari pengusaha asing mengenai kewajiban paten di Indonesia. Selain itu, ketentuan UU Paten tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 27 Perjanjian TRIPs (Agreement on Trade-Related  Aspects of Intellectual Property Rights). Perjanjian ini berlaku untuk semua anggota organisasi perdagangan dunia (WTO), termasuk Indonesia.

Tanda-tanda ‘pencabutan nyawa’ Pasal 20 UU Paten sebenarnya sudah dimulai ketika Menteri Hukum dan HAM memberlakukan Permenkumham No. 15 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemegang Paten. Pasal 3 Permenkumham ini memberi kelonggaran bagi pemegang paten. Jika belum dapat melaksanakan patennya di Indonesia, maka Pemegang Paten dapat menunda pelaksanaan pembuatan produk atau penggunaan proses paten di Indonesia paling lama lima tahun dengan mengajukan permohonan kepada Menteri.

Kini, RUU Cipta Kerja berusaha menguatkan penghapusan Pasal 20 UU Paten. Gagasannya juga pernah disinggung Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly ketika menerima kunjungan duta besar dari negara-negara Uni Eropa pada 14 Januari tahun lalu. Dalam kesempatan itu, Yasonna menyebut kewajiban pembuatan produk di Indonesia berikut kewajiban transfer teknologi dan penyediaan lapangan kerja telah memberatkan para investor. “Sambil menunggu mengubah UU ini melalui Parlemen kami (Omnibus), saya telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 15 Tahun 2018 tentang penundaan Pasal 20 ini,” ujarnya dilansir dari laman resmi resmi DJKI.

Merujuk Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, ada 7 alasan mengapa pemerintah ingin mencabut Pasal 20 UU Paten. Pertama, perlu ada fleksibilitas kewajiban membuat produk dalam kaitannya dengan paten dan transfer teknologi. Kedua, Pasal 20 UU Paten melanggar TRIPs Agreement. Ketiga, pelanggaran Pasal 20 UU Paten dapat berakibat pada pencabutan paten. Keempat, ketentuan Pasal 20 UU Paten tak dapat diterapkan untuk semua jenis teknologi. Kelima, kewajiban transfer teknologi dan proses paten menurunkan investasi. Keenam, dalam praktik sulit dijalankan. Ketujuh, transfer teknologi susah dipraktikkan di dalam negeri.

 

Dikritik

Rencana Pemerintah menghapuskan Pasal 20 UU Paten mendapat kritik akademisi. Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Bambang Kesowo, pernah menuliskan artikel di harian Kompas yang mengkritik gagasan itu.

Kritik juga datang dari Agus Sardjono. Guru Besar Bidang Hukum Kekayaan Intelektual Universitas Indonesia itu berpendapat Pasal 20 UU Paten merupakan nyawa dari UU Paten. Jika dihapuskan, maka hilanglah makna keseluruhan substansi UU Paten.

Dari fakta sejarah, paten pertama kali lahir di Inggris pada abad ke 17, berasal dari keinginan raja Inggris untuk memberikan reward berupa hak monopoli (paten) selama beberapa tahun kepada para pedagang Chinese yang mau mengajarkan pembuatan produknya yang dijual di Inggris. Hak monopoli itu juga diberikan kerajaan Inggris kepada para pedagang Itali. Meski awalnya pedagang Itali keberatan karena khawatir bisa memunculkan banyak saingan dengan invensi serupa, akhirnya pedangan Itali menyetujui dengan mengantongi Surat Paten dari Kerajaan Inggris untuk memonopoli penguasaan produk dalam beberapa tahun sebelum invensi itu dibuka.

“Memang harus begitu. Ketentuan itu dulu berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dimana-mana berlaku. Karena memang konsep paten ya begitu, tak mungkin kita jadi pembeli selamanya,” ujarnya kepada hukumonline.

Alih teknologi dalam paten, Prof. Agus melanjutkan, merupakan suatu hal yang wajib. Itulah mengapa secara harfiah paten berarti ‘terbuka’; lawan dari kata ‘laten’ yang berarti ‘tertutup’. Konsep keterbukaan dalam paten menghendaki adanya keterbukaan invensi atau teknologinya untuk membuat barang. Reward atas kehendak inventor untuk membuka teknologi ini dibalas atau diberikan reward negara dengan hak monopoli berdasarkan TRIPs setidaknya 20 tahun (Article 14 angka 5 TRIPs Agreement).

“Jelas, paten itu adalah pertemuan dari kehendak inventor untuk mengungkapkan teknologinya. Lalu sama negara ditukar dengan reward berupa hak monopoli berdasarkan TRIPS 20 tahun. Jadi aneh kalau malah Pasal ini dianggap bertentangan dengan TRIPs,” tegas Guru Besar Fakultas Hukum UI itu.

Untuk diketahui, merujuk alasan Pemerintah dalam Naskah akademik RUU Cilaka, disebutkan Pasal 20 bertentangan dengan Pasal 27 TRIPs atas alasan adanya unsur diskriminasi. Padahal, Agus menyebut diskriminasi yang dimaksudkan dalam Pasal 27 TRIPs adalah perbedaan perlakuan antar warga bangsa, tak menyinggung persoalan alih teknologi dari produk itu. “Salah kaprah. Alih teknologi itu penting banget. Kita negara, masa mau jadi pembeli selamanya?” tukasnya.

Article 27 TRIPs (Patentable Subject Matter) menyebutkan “Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application.5 Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or locally produced”.

Praktisi Hukum Kekayaan Intelektual Justika.com, Belinda Rosalina tak menampik adanya kehendak pelaku usaha untuk mempertahankana kerahasiaan teknologi suatu perusahaan. Apalagi, katanya, biaya yang dikeluarkan untuk menemukan teknologi itu tidak sedikit. Belinda mengusulkan, ada baiknya jika pemerintah mengelompokkan paten mana saja yang bisa berlaku seterusnya tanpa perlu dibatasi dan jenis paten apa saja yang perlu pembatasan.

Contohnya, obat-obatan yang berguna untuk kepentingan sosial dan kemaslahatan umum seperti anti-virus dan semacamnya, bisa diwajibkan untuk alih teknologi. Sebab, jika resep obat dirahasiakan terus-menerus, maka ilmuan lain juga akan sulit untuk mengembangkan formula dari resep itu. Tetapi, untuk teknologi tertentu yang tidak berkaitan dengan kemaslahatan umum harusnya tak perlu diwajibkan alih teknologi.

“Mestinya tak mencabut ketentuan Pasal 20 UU Paten itu sepenuhnya. Sebaiknya kelompokkan menjadi yang wajib alih teknologi dan yang tidak dengan pertimbangan kemaslahatan umum,” jelasnya.

 

Source: hukumonline.com